Minggu, 15 Maret 2015

Sajak Satir


Politik Cekikik

Mengeritik sang anti kritik
Bagai membatik batu akik
Kolot nian, begitu pelik
Mengeritik si batu akik

Tak perlu ahli, asal handal mengeritik
Bermodal ilmu politik tak lama kau dilantik
Panggung politik itu anti kritik
Kami pun cekikik

Bertaameng citra cari si fanatik
Tak tau apa-apa prihal ular bersisik
Menjelang waktu mereka pun jadi berisik
Sampai akhirnya mereka yang tercekik

Tentang Tuan


Tindak Tanduk Tuan Terhormat

Tahta terhormat telah tiada, tuannya tengah terancam.Tindakan tuan tak terpuji, tuan terima tas-tas terisi triliunan tabungan. Takut tercium, tuan tantang tukang tangkap. Tuan taruh tabungan tuan, takut tukang tangkap tau. Tapi tukang tangkap tak tolol, tukang tangkap telusuri tenang-tenang. Tuan terhormat takut tahtanya tanggal. Tanpa tunggu-tunggu tuan telepon teman, “tolong, tindak tukang tangkap!”. Tanggal tiga tukang tangkap terjebak taktik teman-teman tuan terhormat. Tuduhan terhadap tukang tangkap telah tersusun teratur. Trails tuju tukang tangkap, tetapi tukang tangkap tak takut. Tukang tangkap tanggalkan tahtanya, tapi tuan teradil tangkis tuduhan teman-tuduhan tuan terhormat. Tanggal tujuh tukang tangkap terbebas, tuduhan terhadapnya tidak terbukti. Taktis, tuan terhormat tercoreng tindakan teman tololnya. Tahta terbaru tak tergapai, tuan terhormat tersedu. Terbongkarlah topeng tahta tertamak, tahta terkorup tumpuan tuan tertinggi. Terbujur tak terhormat terkesan tak terdidik.

Tambahan!

Tulisan tadi terinspirasi tindakan terbodoh tuan terhormat terhadap tukang tangkap tercerdik.  

Penggalan Sajak


Senggama Bicara

Jenggot menjalar
Dahi yang menghitam
Mungkin karena sujud
Ah, persetan dengan perawakan

Jadikan agama sebagai tameng
Tameng suci untuk berdosa
Sakiti hati namun tetap jumawa
Satu istri tak mampu puaskan birahi
Dasar penyembah nafsu

Hari ini senggama jatuh di depan mata
Katanya Nabi yang bersabda
Beristri dua, tiga, empat, atau lima pun taka pa
Karena Nabi pun melakukannya
Hai tuan, berkacalah

Berkaca pada dosa dari sisa-sisa nafsumu
Bernafaslah dengan birahimu
Karena senggama Adam dan Hawa, Rama dan Shinta, Kama dan Sutra

Telah menjadi Tuhanmu saat ini

Selasa, 10 Maret 2015

Tentang Kampusku

Tentang Kampusku

            Ini kampusku, terletak di pinggiran kota Jakarta. Walau tak seterkenal universitas dambaan siswa-siswi sekolah menengah tingkat akhir, tetap saja ia telah membuatku jatuh cinta. Awalnya terasa berat menempuh jarak yang lumayan jauh dari rumahku di Condet Jakarta Timur. Kemacetan yang hampir menghantui sepanjang perjalananku terasa amat sangat mengganggu. Tapi lama kelamaan tak sadar aku menikmatinya sebagai penduduk Jakarta yang terbiasa dengan kemacetan.
            Meskipun kampusku ini tidak berada di hutan konservasi, tapi ada beberapa tempat teduh untuk sekedar bercengkrama atau mencari inspirasi. Terdapat bebagai pohon tua dan beberapa pohon yang baru ditanam ada juga logo kebanggan kampusku terpajang di taman. Logo unik bertuliskan UIN yang apabila dibalik 3600 tetap akan membentuk kata dan makna yang sama.
            Lalu, ada juga desain gedung-gedung fakultas dan auditorium atau aula yang mengangkat aksen timur tengah ini sangatlah indah. Walau terkesan agak monoton dengan relief yang terus diulang-ulang tetapi bernilai seni tinggi menurut pendapatku. Namun ada beberapa hal yang sedikit menggangu pengelihatanku. Lahan parker disini kurang teratur sehingga banyak kendaraan staff,dosen dan mahasiswa yang melintang kesana kemari dan hal tersebut mengangu pejalan kaki. Mudah-mudahan proyek parkiran yang sedang dibangun cepat selesai dan mampu meminimalisir gangguan tersebut.
            Satu hal terberat yang membuat aku merasa sedikit terganggu adalah mindset kebanyakan mahasiswa yang kurang terbuka terhadap pemikiran-pemikiran diluar agama. Mungkin karena kampusku ini menyandang nama agama ditengahnya, hal ini membuat kesulitan dalam bergaul dan membuka wawasan-wawasan sesama mahasiswa jika topik yang kita angkat berbau pemikiran para ahli seperti Marx, Auguste Comte dan banyak tokoh filsuf lainnya. Mungkin karena dasar dari beberapa mahasiswa berasal dari lingkungan pesantren yang sulit memisahakan agama dengan diriya kala berdiskusi. Menurut saya hal itu membuat kita terkotak-kotak dan memberikan kesan bahwa ilmu diluar agama tak perlu untuk kita pelajari. Namun tak apalah, aku masih tetap cinta kampusku ini dan masih ada kawan-kawan sastra yang umumnya bersifat terbuka terhadap semua ilmu.
            Lanjut lagi ceritakan hal positif tentang kampusku, tak jauh aku berjalan dari tempat semula aku menulis. Ada seseorang sedang memainkan salah satu alat musik favoritku yaitu biola. Indah sekali mendengar alunanya, memang taman tempatku menulis ini adalah tempat yang nyaman untuk bermain musik.
            Rasa-rasanya inspirasiku mulai tak terkontrol, aku takut cerita yang singkat ini melebar ke berbagai hal. Jadi kuputuskan untuk mengakhiri saja.
Terima kasih sudah merelakan waktu untuk berbagi kisah denganku, See yaa!